IAPPI.net dalam Perbaikan...

Web Iappi.net ini masih dalam perbaikan dan pembangunan, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi admnistrator Iappi.net...

Pesantren Persatuan Islam 1-2 Bandung

Setitik Kebaikan...

Web Iappi.net ini masih dalam perbaikan dan pembangunan, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi admnistrator Iappi.net...

masjidil haram

Indahnya Kebersamaan...

Web Iappi.net ini masih dalam perbaikan dan pembangunan, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi admnistrator Iappi.net...

masjid nabawi

Bersama Berjabatan Tangan...

Web Iappi.net ini masih dalam perbaikan dan pembangunan, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi admnistrator Iappi.net...

masjid al-aqsho

Satu Almamater...

Web Iappi.net ini masih dalam perbaikan dan pembangunan, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi admnistrator Iappi.net...

masjid sheikh zayed

Maintenance IAPPI.net...

Web Iappi.net ini masih dalam perbaikan dan pembangunan, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi admnistrator Iappi.net...

masjid sheikh zayed

Tunas-Tunas Muda...

Web Iappi.net ini masih dalam perbaikan dan pembangunan, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi admnistrator Iappi.net...

masjid brunai
  • Reiciendis voluptatibus maiores
  • Asumenda omnis dolor
  • Voluptates repudiandae sint
  • Necessitatibus saepe eveniet
  • Omnis dolor repellendus
  • Pomnis voluptas assumenda
  • Harum quidem rerum

Friday, November 4, 2011

Hikmah Berqurban

Alangkah malunya kita kepada Bapak para Nabi yang bersedia mengorbankan anaknya untuk mentaati Allah, sedangkan kita enggan dan bermalas-malasan sekedar menyisihkan sedikit rezeki dariNya. Semoga kita diberi kemudahan untuk melaksanakan syariat yang mulia ini, yakni berkurban, untuk mendekat kepada Allah ta'ala.

Selain ibadah haji, pada bulan Dzulhijjah umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam. Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail as.

Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Kisah mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (١٠٢)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (١٠٣)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (١٠٤)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ (١٠٦)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ (١٠٨)سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ


102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".
103. tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
104. dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,
105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu[1284] Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
107. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[1285].
108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian,
109. (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".
[1284] Yang dimaksud dengan membenarkan mimpi ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah s.w.t. dan wajib melaksana- kannya.
[1285] Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. Maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari raya haji.


Bila untuk Nabi Ibrahim Allah meminta anaknya. Dari kita Allah SWT hanya meminta agar kita mengorbankan kambing, sapi atau unta. Alangkah malunya kita kepada Bapak para Nabi yang bersedia mengorbankan anaknya untuk mentaati Allah, sedangkan kita enggan dan bermalas-malasan sekedar menyisihkan sedikit rezeki dariNya. Semoga kita diberi kemudahan untuk melaksanakan syariat yang mulia ini, yakni berkurban, untuk mendekat kepada Allah ta'ala.

Kata kurban (dalam bahasa Arab berarti mendekatkan) tidak dikenal dalam istilah fikih Islam sebagai kata yang bermakna penyembelihan hewan pada Idul Adha. Fikih Islam menggunakan istilah dhahiyah atau udh-hiyah. Sebagian ulama mengistilahkannya dengan an-nahr diambil dari istilah Alquran surat Alkautsar ayat 2.


فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.

Ibadah kurban sudah dikenal sejak zaman Nabi Adam AS dengan pe-rintah kepada putra-putranya (Qabil dan Habil) untuk mengorbankan dari hasil mata pencahariannya masing-masing. Kemudian dipertehgas lagi oleh Nabi Ibrahim AS yang dengan kepasrahannya menyembelih putranya Ismail. Syariat kurban ini dilanjutkan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan Imam Tirmizi. "Aku diperintahkan menyembelih kurban dan kurban itu disunahkan bagi kamu."

Sejatinya, ibadah kurban juga banyak mengandung pesan-pesan moral dan nilai-nilai pendidikan, antara lain;

Pertama, melatih kepatuhan dan kepasrahan total kepada Allah. Kalau Nabi Ibrahim AS dengan patuh dan tulus menyembelih putranya yang sangat disayangi, kita hanya diminta menyembelih hewan kurban yang dalam ketentuan fikih harus bagus, besar, sempurna, dan tidak cacat.

Namun bukan hewan kurbannya yang akan mendekatkan kita dengan Allah. "Daging-danging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya" (Alhaj[22]:37).
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.


Kedua, menghilangkan nafsu bahimiyah (nafsu kebinatangan). Ketika hewan kurban jatuh ke bumi saat disembelih, seolah-olah putuslah sifat-sifat kebinatangan seperti serakah, kejam, penindas, egois, otoriter, dan sebagainya. Saat itu hendaknya si pelaku kurban menyaksikannya sambil memanjatkan doa kepada Allah agar dihindarkan dari sifat-sifat tersebut.

Ketiga, menumbuhkan sifat tawadhu dan menghilangkan sifat sombong atau takabur. Sebelum hewan kurban disembelih, pelaku kurban disunahkan mengumandangkan kalimat takbir, tahmid dan tahllil. Ini bermakna bahwa hanya Allah yang Mahabesar, yang patut disanjung dan dipuji, tiada tuhan selainNya.

Keempat, menanamkan rasa kasih sayang kepada orang lain. Karenanya daging kurban hendaknya dibagikan kepada sasaran yang tepat, yaitu para fakir miskin yang sangat membutuhkannya.

Kelima, menumbuhkan sifat dermawan. Ibadah kurban dilakukan berulang-ulang setiap tahun bagi yang mampu. Ini sebagai pembiasaan, karena sesuatu yang diulang-ulang, akan sulit untuk dihilangkan.

Semoga bermanfaat. Allah Maha Melihat, Allah mengetahui mana yang bersyukur dan mana yang tidak. Dan Allah akan berilah yang lebih besar bagi yang ikhlas berqurban. Dan kecelakaan besarlah, bagi diri yang sebenarnya mampu tetapi tidak mengakui kemampuannya dalam berQurban.

Sumbet: Percikan Iman
Posted by Hakimtea 0 comments

Cara Menghindari Kesombongan

Dari Salman RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Tiga golongan tidak akan masuk surga, yaitu: Orang tua yang berzina, pemimpin yang banyak berdusta, dan orang miskin yang 'ujub lagi sombong". [HR. Al-Bazzar dengan sanad yang baik, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 565]

Rasa, kata dan sikap yang sombong ibarat magnet yang menarik bencana. Al-Quran mengisahkan nasib tiga mahluk Allah yang menebar kesombongan akhirnya menuai azab, tidak saja di akhirat tetapi di dunia pun sudah didapatkan. Mereka adalah Iblis, Fir'aun dan Qarun.

Kebesaran adalah pakaian-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. (Allah Ta'ala berfirman): Barang siapa menyaingi Aku pada keduanya pasti Aku azab ia." (HR. Muslim)

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman : 18)

Di era yang serba modern dan canggih saat ini mengubah pola pikir muslim dan muslimah menjadi lebih gengsi, lebih cuek, lebih tampil kebarat-baratan yang berorientasi pada kesombongan belaka. Padahal sifat sombong itu dilarang oleh Allah azza wa jalla. Bagaimana menyikapi atau membubarkan penyakit sombong pada diri kita? Berikut ini caranya:

(1) Hindari Banyak Bicara

Tidak banyak bicara terlebih pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Pembicaraan yang kita ucapkan sering kali hanya membicarakan mengenai kelebihan yang kita punya. Hal-hal yang dianggap dapat membanggakan diri dibicarakan kepada semua orang. Padahal titik awal dari penyakit sombong adalah berawal dari pembicaraan ini. Oleh karena itu, marilah kita hindari banyak bicara yang tidak bermanfaat.

"Di antara orang yang aku cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di hari kiamat adalah orang yang banyak bicara dan orang yang berbicara dengan mulut penuh (untuk mempertontonkan kefasihannya) dan orang yang banyak bicaranya, serta membuka mulutnya lebar-lebar." (HR. Mutafaq 'alaihi)

(2) Sikap Rendah Hati, Bukan Rendah Diri

Selalu rendah hati adalah kunci untuk memerangi sifat sombong. Tapi perlu diingat! rendah hati bukanlah rendah diri. Maksud dari rendah hati yaitu senang berlaku baik terhadap semua orang. Selalu menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan kita. Sehingga kita tidak lakunya berlagak sombong.

"Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu', sehingga tak seorang pun menyombongkan diri kepada yang lain, atau seseorang tiada menganiaya kepada yang lainnya." (HR.Muslim)

(3) Jangan Merasa Dermawan

Tips lain untuk menghindari perilaku sombong yaitu melupakan pemberian yang kita berikan. Jangan sampai kiya mengungkit-ungkit apa pun yang kita berikan kepada orang lain. karena itu menunjukkan bahwa kita memberinya dengan tidak ikhlas. Rasulullah saw mengatakan "jika tangan kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu tahu" maksudnya yaitu jika kita memberi sesuatu jangan sampai tahu orang lain. Harus ikhlas dan hanya mengharap ridho Allah azza wa jalla semata.

Orang-orang yang menafqahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafqahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian ma'af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 261-263)

(4) Tebarkan Salam

Selalu memberi salam dan menyapa kepada setiap muslim dan muslimah merupakan ibadah. Karena jika kita melakukannya berarti menunjukkan bahwa kita berlaku sombong. Tidak memaling muka kita kepada orang-orang sekitar. Dan insyaAllah cara ini sangat mudah kita lakukan.

Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah kalian masuk surga sehingga kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sehingga kalian saling berkasih-sayang. Maukah aku tunjukkan kepada kalian pada suatu perkara apabila kalian mengamalkannya kalian akan saling berkasih sayang ? Tebarkanlah salam diantara kalian !". (HR. Tirmidzi)

(5) Senantiasa Bersedekah

Dan hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu sering-sering bersedekah. Jangan sampai kita karena merasa kaya lalu bersikap kikir dan angkuh. Kita harus sering-sering "melihat orang yang dibawah kita". Sehingga kita senantiasa tidak bersikap berlebihan dalam berbagai hal. Dan sedekah ini juga kita gunakan untuk membersihkan berbagai kotoran yang ada pada harta yang kita miliki. InsyaAllah istiqomah.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa seseorang telah bertanya kepada Nabi saw., "Ya Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?" Rasulullah saw. bersabda, "Bersedekah pada waktu sehat, takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi orang yang kaya. Janganlah kamu memperlambatnya sehingga maut tiba, lalu kamu berkata, 'Harta untuk Si Fulan sekian, dan untuk Si Fulan sekian, padahal harta itu telah menjadi milik Si Fulan (ahli waris)." (HR. Bukhari Muslim).

Itulah beberapa tips dan amalan yang bisa menghindarkan diri dari munculnya rasa sombong yang selalu digodakan kepada manusia.

Sombong adalah meremehkan manusia lain dan menolak kebenaran. Sedangkan menyukai keindahan dan pakaian yang bagus bukanlah termasuk kesombongan. JAGALAH HATI.

Semoga bermanfaat.

Sumber: Percikan Iman
Posted by Hakimtea 1 comments

Thursday, October 27, 2011

Utamakan Lapar Ilmu Daripada Lapar Makan

Diantara ratusan ribu hadits Nabi Muhammad saw, banyak hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Meski hanya empat tahun hidup bersama Rasul saw. sebelum wafat beliau, namun ia telah menghafal dan meriwayatkan 5.374 hadits dari Nabi saw.

Nama aslinya Abdurrahman bin Shakhr Ad Dausi. Ia masuk Islam pada 7 H. Setelah masuk Islam, ia termasuk Ahlus Shuffah (ahli Shuffah). Setelah masuk Islam, ia tinggal di masjid Nabawi. Ia termasuk Ahlus Shuffah (ahli Shuffah).

Ahli Shuffah adalah orang Islam dan dianggap tamu oleh Nabi Saw. Mereka tidak punya tempat tinggal dan tidak punya kerabat di Madinah. Mereka tinggal di halaman masjid Nabawi. Jika Nabi saw. mendapatkan shadaqah, beliau segera mengirimkan kepada mereka dan beliau tidak mengambil sedikit pun. Kalau mendapat hadiah, maka Nabi saw. mengirimkannya kepada Ahli Shuffah dan beliau mengambil sedikit atau beliau memakannya bersama mereka.

Abu Hurairah selalu menemani dan melayani Rasulullah saw. kapan pun dan dimana pun beliau berada. Karena itu ia mendapat banyak ilmu dari Nabi saw. Maka, ia mampu menghafal lebih banyak hadits daripada sahabat lain yang lebih senior.

Salah satu kelebihan Abu Hurairah adalah rasa hausnya akan ilmu mengalahkan rasa laparnya terhadap makanan. Imam Bukhari menarasikan penggalan perjalanan hidup Abu Hurairah bersama Rasul saw. (diolah dari Riyadhus Shalihin hadits no. 502).

Suatu hari, Abu Hurairah menceritakan keadaannya. Ia berkata, “Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia. Aku pernah merapatkan perutku ke tanah karena lapar. Aku mengikat batu di perutku. Aku juga pernah terduduk kelaparan di tempat di sebuah jalan yang biasa dilalui orang. Dari kejauhan, Nabi saw. tersenyum saat melihatku. Sepertinya beliau mengerti keadaanku setelah memperhatikan ekspresi wajahku dan posisi tubuhku.”

Kemudian Nabi saw. memanggil Abu Hurairah, “Wahai, Abu Hirr (panggilan akrab Abu Hurairah, artinya pemilik kucing kecil, Red.).

“Labbaik ya Rasulullah.”

“Ikutlah denganku,” ucap Nabi saw.

Lalu Abu Hurairah menemani Nabi saw. menuju salah satu rumah keluarga beliau. Nabi saw. pun masuk. Abu Hurairah minta izin masuk dan beliau mengizinkannya. Di sana ada segelas susu. Nabi saw. bertanya kepada penghuni rumah, “Darimana asal susu ini?”

“Seorang perempuan menghadiahkan untuk engkau, wahai Rasulullah,” jawab penghuni rumah.

“Wahai Abu Hirr.”

“Labbaik ya Rasulullah,” jawab Abu Hurairah.

“Temuilah Ahli Shuffah itu. Ajaklah kemari.”

Saat memanggil Ahli Shuffah, Abu Hurairah berkata sendiri, “Mengapa susu ini diberikan kepada Ahli Shuffah? Padahal aku paling pantas untuk minum susu itu agar kekuatan saya pulih. Apabila Ahli Shuffah kemari, beliau pasti menyuruh saya memberikan susu itu kepada mereka dan kemungkinan saya tidak mendapat bagian dari susu itu. Maka, perasaanku jadi tidak enak karena ini. Tapi taat kepada Allah dan Rasul harus diutamakan.”

Inilah salah satu kelebihan akhlak Abu Hurairah. Ia menjaga harga dirinya meski hidup kekurangan. Ia tidak meminta-minta. Ia pernah tergeletak di antara mimbar Nabi saw. dan kamar Aisyah (di sekitar Masjid Nabawi, Red.). Lalu ada yang melewatinya dan menginjak lehernya. Ia mengira Abu Hurairah orang gila. Padahal ia tergeletak karena lapar.

Setelah Ahli Shuffah tiba dan duduk mengelilingi Nabi saw, kemudian Nabi saw. berkata, “Wahai Abu Hirr.”

“Labbaik ya Rasulullah.”

“Ambil susu itu dan bagikan kepada mereka.”

Abu Hurairah berkata sendiri, “Aku sangat berharap aku mendapat bagian dari susu ini. Dan ini bukan berarti aku tidak taat kepada Allah dan Rasul sama sekali.”

Namun ia tetap melaksanakan perintah Nabi saw. Ia memberikan susu itu kepada Ahli Shuffah. Satu per satu minum sampai puas. Dengan izin Allah, susunya tidak habis-habis meski telah diminum banyak orang. Setelah semua minum, Nabi saw. mengambil gelas itu. Nabi saw. memandang Abu Hurairah sambil tersenyum.

“Wahai Abu Hirr.”

“Labbaik ya Rasulullah.”

“Sekarang tinggal aku dan kamu.”

“Engkau benar wahai Rasulullah.”

“Duduklah dan minumlah.”

Maka Abu Hurairah duduk dan meminumnya. “Minumlah,” ucap Nabi saw. lagi. Ia pun meminumnya lagi. Dan Nabi saw. berkali-kali menyuruhnya minum. Ia terus minum hingga akhirnya berkata, “Tidak, demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran! Perut saya tidak muat lagi.” Lantas Nabi saw. bersabda, “Bawa kemari gelas itu.” Kemudian, Nabi saw. memuji Allah, menyebut Asma-Nya dan kemudian meminumnya.

Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu adalah shahabat terbanyak periwayat haditsnya. Keberaniannya bertanya kepada Rasulullah saw menjadikan tahu akan permasalahan-permasalahan yang tidak pernah ditanyakan oleh shahabat lainnya. Shahabat Ubay bin Ka’b menjelaskan, “Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu sangat bersemangat bertanya kepada Rasul tentang berbagai permasalahan yang tidak pernah kami tanyakan.”

Demikian banyaknya hadits yang ia teguk dari bejana Nabi belum membuatnya puas, ia kembali mencarinya dari bejana-bejana ilmu yang dimiliki beberapa shahabat senior, seperti Abu Bakar, Umar, Al-Fadhl bin ‘Abbas, ‘Ubay bin Ka’b, Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, dan bushra Al-Ghifari Radhiallahu ‘anhum. Ia selalu bertanya kepada mereka tentang hadits-hadits Nabi yang disampaikan pada awal-awal islam, atau kisah-kisah yang terjadi sebelum keislamannya, seperti kisah kematian Abu Thalib dan yang lainnya.

Maka tidaklah berlebihan jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjulukinya sebagai bejana ilmu. Dan tidak mengherankan jika sebagian shahabat ikut menciduk ilmu Abu Hurairah dari bejananya yang amat luas, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Anas bin Malik, Watsilah bin Asqa’, Jabir bin ‘Abdillah, dan Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhum.

Tidak ketinggalan pula para pemuka tabi’in juga ikut mencicipi segarnya ilmu Abu Hurairah. Diantara mereka adalah, Sa’id bin Musayyib, Abdullah bin Tsa’labah, ‘Urwah bin Zubair, Salman Al-Aghar, Syuraih bin Hani’, Khabab, Sulaiman bin Yasar, Abdullah bin Syaqiq, Hafsh bin ‘Ashim, Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari, Salim maula Syaddad, Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, Muhammad bin Sirin, Abdurrahman bin Hurmuz, Samman, ‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud, Atho bin Abi Rabah, Atho bin Yasar, Nafi’ bin Jubair bin Mut’im, Abdurrahman bin Mihran, Isa bin Thalhah, Abu Hazim Al-Asyja’i, Hammam bin Munabbih, dan masih banyak lagi.

Imam Al-Bukhari berkata, “Telah meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah sebanyak 800 Ahlul Ilmi atau lebih, beliau adalah periwayat hadits yang paling hafal.”

Imam Syafi’i Rahimahullah berkata, “Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu adalah orang yang paling hafal hadits pada masanya.”

Lihat biografi lengkap beliau di kitab Al-Ishabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, Tadzkiratul Huffazh karya Adz-Dzahabi, dan Siyar karya Adz-Dzahabi.

Sumber: percikan iman
Posted by Hakimtea 0 comments

Wednesday, October 26, 2011

Profil Pesantren Benda Tasikmalaya

Awal mula berdirinya Pesantren ini merupakan sebuah Majlis Ta'lim (Pengajian Agama Islam) yang diadakan oleh KH. Usman Aminullah (akrab dipanggil dengan panggilan Ust. Amien) berupa pengajian di rumah orang tuanya yang hanya dilaksanakan setelah maghrib.

Pada awalnya kegiatan pengajian ini diadakan di rumah, akan tetapi dikarenakan jumlah anak yang ikut mengaji bertambah banyak dari waktu ke waktu, maka pengajian dipindahkan ke sebuah "langgar" berukuran kurang lebih 5 x 6 meter.

Ternyata luas Langgar seukuran kamar tersebut tidak dapat menampung jumlah santri yang nyantri waktu itu, kemudian Ustadz. Amin dan masyarakat membangun sebuah madrasah yang agak besar seukuran 8 x 8 dengan beratapkan jerami serta beralaskan tanah serta beberapa meja dan kursi yang terbuat dari bambu yang dibentuk seperti papan, saking memprihatinkan madrasah tersebut. orang-orang menyebutnya madrasah kandang kambing.

Teriring berjalanya waktu jumlah santri yang terus bertambah (ada juga yang datang dari jauh) maka didirikanlah Madrasah yang berukuran 7 x 40 meter dan pengajian pun dipindahkan ke pagi hari. Pada tanggal 4 Mei 1940 diresmikanlah Madrasah tersebut sebagai Pesantren Persatuan Islam No. 67 oleh Pimpinan Pusat Persatuan Islam yang ketika itu diketuai oleh KH. Isa Anshari.

Kemudian Pesantren ini berkembang sedikit demi sedikit, diawali dengan didirikannya Madrasah Diniyyah, Ibtidaiyyah dan Tsanawiyyah. Pada tahun 1976 KH. U. Aminullah menyerahkan kepengurusan Pesantren kepada putranya Drs. H. Shiddiq Amien, MBA. Beberapa tahun kemudian Pesantren ini berkembang seperti yang kita lihat sekarang. Sepeninggal Ust. Shiddiq Amien (31 Oktober 2009), kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh kakak beliau K.H. Muhtarom Amien hingga sekarang

Tidak hanya sampai disitu, karena jumlah santri yang terus bertambah (ada juga yang datang dari jauh) maka didirikanlah Madrasah yang berukuran 7 x 40 meter dan pengajian pun dipindahkan ke pagi hari. Pada tanggal 4 Mei 1940 diresmikanlah Madrasah tersebut sebagai Pesantren Persatuan Islam No. 67 oleh Pimpinan Pusat Persatuan Islam yang ketika itu diketuai oleh KH. Isa Anshari.

Kemudian Pesantren ini berkembang sedikit demi sedikit, diawali dengan didirikannya Madrasah Diniyyah, Ibtidaiyyah dan Tsanawiyyah. Pada tahun 1976 KH. U. Aminullah menyerahkan kepengurusan Pesantren kepada putranya Drs. H. Shiddiq Amien, MBA. Beberapa tahun kemudian Pesantren ini berkembang seperti yang kita lihat sekarang. Sepeninggal Ust. Shiddiq Amien (31 Oktober 2009), kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh kakak beliau K.H. Muhtarom Amien hingga sekarang

Pesantren Persatuan Islam 67 Benda berada di sebelah utara Kota Tasikmalaya, tepatnya di kampung Benda Kelurahan Nagarasari Kecamatan Cipedes, Pesantren ini menempati areal seluas kurang lebih 3,5 H.

Sumber: persis67benda.com
Posted by Hakimtea 0 comments

Profil Pesantren Tarogong Garut

SEJARAH SINGKAT PESANTREN PERSATUAN ISLAM TAROGONG

A. MUQODIMAH

Pondok Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut diresmikan tahun 1980 oleh Ketua Umum Pusat Pimpinan Persatuan Islam, KHE Abdurrahman (alm.) dan Mr. Muhammad Roem (alm.) mewakili Dewan Da'wah Islamiyyah (DDII). Dipimpin pertama kali oleh KH Sjihabuddin (alm.). Berdiri di atas lahan lebih dari 2 Ha. Dilengkapi sarana: Masjid, Ruang belajar, Perpustakaan, Asrama (putra/putri), Poliklinik, Kopontren, sarana olahraga, dan sarana lain. Jumlah santri lebih dari 1.500 orang, berasal dari hampir seluruh Indonesia.

Pengasuh pesantren adalah lulusan pondok pesantren dan Perguruan Tinggi dalam/luar negeri (STAIPI, LIPIA, IAIN, IKIP, Unpad, UI, Universitas Islam Madinah dlsb.) Lulusan pesantren pada umumnya mengabdikan diri bagi pengembangan Islam di masyarakat. Sebagian lulusan pesantren melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi dalam/luar negeri (STAIPI, LIPIA, IAIN, IKIP, Unpad, Unisba, Universitas Islam International Pakistan, Universitas Islam Madinah, Universitas Islam Alazhar dlsb).

B. SEJARAH SINGKAT

Pesantren Persatuan Islam Tarogong mulai dirintis pembentukannya sejak tahun 1960. Tahun 1960 almarhum H. Memen Abdurrahman membangun dan mewaqafkan Pesantren Persatuan Islam At-Taqwa di Rancabogo Tarogong. Pesantren Persatuan Islam At-Taqwa tersebut merupakan Pesantren Persatuan Islam pertama di kabupaten Garut. Pesantren tersebut pertama kali dipimpin oleh Al-ustadz Zainuddin Masjdiani yang dibantu oleh Al-Ustadz Sjihabuddin dan Al-Ustadzah Aminah Dahlan.

Tahun 1965 Persatuan Islam cabang Garut mendirikan sebuah masjid di jalan Guntur Bentar Garut, selain dipergunakan sebagai tempat ibadah dan pengajian, di masjid tersebut diselenggarakan pula kegiatan pendidikan Ibtidaiyyah (Madrasah Diniyah). Madrasah tersebut merupakan cikal-bakal Pesantren Persatuan Islam Garut.

Tahun 1967 Persatuan Islam cabang Garut (yang diprakarsai oleh Al-Ustadz Komaruddin AS dan Al-Ustadz Djamaluddin Ma'mun) berhasil mendirikan sebuah bangunan, yang terdiri dari tiga ruang belajar yang selanjutnya dipergunakan sebagai Pesantren dengan membuka jenjang Tajhiziyyah dan Tsanawiyyah. Pesantren Persatuan Islam Garut di Bentar ini dipimpin oleh Al-Ustadz Sjihabuddin dan Al-Ustadzah Aminah Dahlan. Sementara itu Pesantren At-Taqwa di Rancabogo, setelah kepindahan Al-Ustadz Sjihabuddin ke Pesantren Persatuan Islam di Bentar serta kepindahan Al-Ustadz Zainuddin ke Bandung kegiatannya menyusut dan akhirnya terhenti.

Pesantren Persatuan Islam Garut kemudian terus berkembang, santrinya mulai berdatangan dari luar kota, sehingga untuk itu pesantren mempergunakan satu ruangannya untuk pemondokan santri putri dan guru pembimbing. Pesantren kemudian membangun gedung tambahan baik untuk tempat belajar maupun pemondokan bagi para santrinya. Hingga tahun 1978 Pesantren telah memiliki 8 ruang belajar, 5 ruang pemondokan putri, satu bangunan untuk perumahan 2 orang guru pembimbing beserta fasilitas lainnya. Hingga tahun 1978 tersebut Pesantren telah menyelenggarakan pendidikan untuk tingkat Ibtidaiyyah, Tajhiziyyah dan Tsanawiyyah yang menampung 677 orang santri, terdiri dari 414 santri Ibtidaiyyah, dan 263 santri Tajhiziyyah dan Tsanawiyyah termasuk 76 santri putri yang tinggal di pondok (asrama) serta 36 orang santri putra yang di tampung dirumah Al-Ustadz Sjihabuddin sdan Al-ustadz Djamaluddin. Perkembangan Pesantren tersebut ternyata tidak bisa diimbangi oleh pengembangan sarana fisik karena luas tanah yang terbatas.

Untuk itu awal tahun 1978 Alustadz H Sjihabuddin mengajukan permohonan kepada Pimpinan Cabang Persatuan Islam Garut untuk mengembangkan Pesantren ke Rancabogo Tarogong. Permohonan tersebut tidak bisa dipenuhi oleh Pimpinan Persatuan Islam Garut. Karena permohonannya tidak terpenuhi, maka Alustadz Sjihabuddin mengajak beberapa Asatidz (diantaranya Alustadz Maman Nurzaman, Alust. Yusuf Hidayat, Alust. Sopandi & Alust. Abdul Majid) mengumpulkan uang pribadi mereka untuk uang muka pembelian sebidang tanah seluas ± 6.000 m2 di dekat Pesantren Persatuan Islam At-taqwa Rancabogo. Kemudian dibantu oleh almarhum Bapak M Natsir (ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia /DDII) mengajukan permohonan kepada pemerintah Saudi Arabia
Alhamdulillah, berkat bantuan pemerintah Kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 Persatuan Islam cabang Garut berhasil membangun sebuah kompleks pesantren di Rancabogo Tarogong, kemudian pada tanggal 2 Sya'ban 1400 (15 Juni 1980) kompleks pesantren tersebut di resmikan oleh Al-Ustadz KHE Abdurrahman (alm.), Ketua Umum Pusat Pimpinan Persatuan Islam serta Mr. Mohammad Roem (alm.), mewakili Dewan Da'wah Islamiyyah Indonesia Pusat, selanjutnya pesantren ini diberi nama Pesantren Persatuan Islam Garut II dan diasuh oleh Al-Ustadz Sjihabuddin dan Al-Ustadzah Aminah Dahlan, sedangkan pesantren di Bentar diberi nama Pesantren Persatuan Islam Garut I dan dikelola oleh Al-Ustadz Djamaluddin Ma'mun dan Al-Ustadz Aceng Zakaria.

Dengan demikian pesantren At-Taqwa Persatuan Islam Rancabogo yang telah terhenti dilanjutkan kembali sebagai perluasan dari Pesantren Persatuan Islam Garut. Tahun 1983 lokasi Pesantren Persatuan Islam At-taqwa terpotong oleh pembangunan jalan, yang kemudian diganti oleh pemerintah dengan bangunan baru sebanyak 3 kelas (sekarang digunakan Taman Kanak-kanak di belakang masjid Ihyaul-Islam).

Pada tahun 1984 Persatuan Islam cabang Garut dimekarkan menjadi 4 cabang, sehingga Pesantren Persatuan Islam Garut II berada di bawah koordinasi Persatuan Islam cabang Tarogong, maka sejak itu pesantren berubah nama menjadi Pesantren Persatuan Islam Tarogong.

C. PERKEMBANGAN PESANTREN PERSATUN ISLAM TROGONG

Ketika diresmikan tahun 1980, pesantren memiliki 10 buah gedung yang terdiri dari 11 ruang belajar, 11 ruang pemondokan (asrama), perumahan untuk 2 orang guru, dapur, gudang dan fasilitas lainnya, ternyata sarana tersebut kemudian tidak mencukupi, kemudian atas usaha pesantren serta gotong royong masyarakat, pesantren melakukan penambahan sebuah gedung Mushalla (1983) yang kemudian dijadikan pemondokan santri putra (sekarang perpustakaan) serta sebuah gedung bertingkat yang selesai dibangun tahun 1985 terdiri dari 9 ruang belajar dan satu ruang kantor serta beberapa fasilitas lainnya. Jenjang pendidikan yang dibuka pada tahun 1980 meliputi tingkat Ibtidaiyyah, Tajhiziyyah dan Tsanawiyyah. Dan sejak tahun 1983 pesantren membuka pendidikan tingkat Mu'allimin. Tahun 1992 membuka RA PERSIS, tahun 1998 dibuka SDIT. Tahun 1987 dibangun Masjid Ihyaul-Islam, 1989 dibangun Asrama putra, 1992 Masjid Al-amanah (khusus putri), 1994 RA, 1995 Kantor, 1996-2000 Asrama putri, mulai tahun 2001 dibuka pendidikan dan pelatihan komputer dan tahun 2001-sekarang membangun gedung SDIT.

Sumber : IAPPI forum
Posted by Hakimtea 2 comments

Telaah Ulang Konsep Ulil Amri Untuk Penataan Kehidupan Umat

Persoalan penetapan awal hari raya selalu menjadi fenomena yang menegangkan setiap tahunnya, termasuk pada tahun ini. Apalagi apabila secara perhitungan hisab ada kemungkinan berbeda. Padahal, kesepakatan dalam penentuan hari raya sebetulnya membahagiakan sebagian besar umat Islam. Mereka dapat berkumpul bersama keluarga dan sanak-kerabat dalam kebersamaan dan tanpa saling curiga karena berbeda hari raya. Saat hari raya ditentukan berbeda banyak suami-istri yang berbeda latar belakang ormas menjadi tidak nikmat dan tidak terlalu bahagia menghadapi hari raya karena tidak sepakat menentukan hari mana yang akan dipilih untuk berhari raya. Pasalnya, dua ormas yang berbeda itu menentukan hari raya berbeda. Ini sungguh bukan fenomena yang patut dipelihara. Justru sebaliknya, harus dicarikan solusi mengingat sebenarnya masih sangat mungkin ditempuh jalan keluar dalam masalah-masalah ijtihadiyah semacam ini.

Kaidah al-khurûj minal-khilâf mustahab (keluar dari ikhtilaf adalah dianjurkan) merupakan salah satu kaidah fiqhiyyah yang disepakati hampir oleh semua ulama mujtahid dan dianggap sebagai salah satu kaidah kulliyyah (universal). Artinya, sepanjang masih ada titik-titik singgung yang bisa dipersatukan di antara umat, jangan menyengaja atau mencoba-coba ingin berbeda dengan umat lain. Sikap ingin dan asal beda justru bertentangan dengan prinsip kaidah ini. Oleh sebab itu, dalam masalah ijthadiyah semacam ini harus terus dipikirkan modus terbaik untuk keluar dari khilâf yang pasti akan terus menerus terjadi karena metode penetapan yang berbeda.

Mencari modus untuk menyatukan hari raya ini sangat penting mengingat masalah hari raya lebih banyak berdimensi publik daripada dimensi individual. Ibadah ritual dalam setiap hari raya hanya dilakasanakan tidak lebih dari satu jam, yaitu menyelenggarakan shalat ‘id. Namun, dimensi sosial dari hari raya ini sunggung sangat luas. Kumandang takbir yang disunatkan untuk dipublikasikan, show up shalat ‘id di lapangan, kesibukan ekonomi mendadak setiap hari raya, tradisi “mudik” yang begitu kolosal dan spektakuler setiap menjelang Idul Fithri, hilir mudik orang meramaikan suasana hari raya, dan kesibukan sosial lainnya memperlihatkan secara telanjang hubungan hari raya dengan urusan-urusan publik yang lebih besar.

Persoalannya, di mana titik temu mungkin didapat mengingat sampai saat ini metodologi dalam penetapan hilâl berbeda-beda. Kalau masih belum seragam, sampai kapanpun, ketika posisi hilâl tidak terlalu tinggi, akan terus terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan kapan awal bulan baru dimulai. Memang, memaksakan agar setiap kelompok menggunakan metode yang sama dalam menentukan bulan baru bukan sesuatu yang memungkinkan. Masing-masing memiliki alasan dan dalil yang dianggap paling sahih sehingga sulit untuk memaksa mereka memilih satu metode tertentu. Dalam dalam konteks ini sesungguhnya ada kaidah fiqhiyyah lain yang dapat dijadikan jembatan, yaitu kaidah Kullu mâ hakama bihi al-qâdhî al-‘adl min madzhabin man ra’âhu shawâban mimmâ ikhtalafa al-nâs fîhi fahuwa nâfidz (Setiap perkara yang diputuskan oleh seorang hakim yang adil berdasarkan pendapat satu madzhab yang dianggap olehnya benar atas masalah yang dipersepisihkan oleh orang-orang, maka keputusan itu dapat dilekasanakan).,

Kaidah di atas mengisyaratkan salah satu cara untuk menyelesaikan khilâf, yaitu dengan menyerahkannya pada pihak yang berwenang (qâdhi atau hakim yang adil). Ini merupakan salah satu bagian dari siyâsah syar‘iyyah untuk menghindari potensi-potensi konflik di tengah umat dan meminimalisasi terjadinya fragmentasi akibat perbedaan pendapat di tengah umat. Cara ini dapat lebih memungkinkan umat didorong untuk terus dapat berkomitmen memgang persatuan (al-wihdah). Sebab, kalau khilâf dipelihara justru berpotensi untuk memecah-belah umat dan menimbulkan perasaan al-wihdah al-islâmiyyah dalam diri setiap umat Muslim hilang.

Tambahan lagi, dalam kasus penentuan awal bulan baru ini tidak ada aturan yang memestikan setiap ormas menentukan sendiri hari rayanya. Justru dalam berbagai kasus di zaman Rasulullah, yang memerintahkan untuk buka atau mulai puasa adalah Rasulullah Saw. sebagai amir kaum Muslimin. Baik para pemimpin kaum Muhajirin atau Anshar, masing-masing tidak diperkenankan untuk menentukan sendiri kapan mereka harus berbuka atau berhari raya sementara mereka berada di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw. Oleh sebab itu, semestinya semua ormas harus lebih ‘legowo’ untuk menyerahkan keputusan kapan hari raya dilaksanakan kepada amir, dalam hal ini pemerintah atau lembaga yang merpresentasikan amir seperti MUI atau yang lainnya. Dan di seluruh dunia, sepertinya hanya di Indonesia masing-masing ormas menentukan sendiri hari rayanya. Oleh sebab itu, sudah saatnya untuk masalah-masalah publik seperti penentuan hari raya ini diserahkan saja kepada pemerintabh sebagai ulil-amri kaum Muslim. Sepanjang metodologi penetapannya masih sesuai dalil dan kaidah syara‘, apapun yang diputuskan pemerintah harus diterima semua masyarakat dan semua ormas tanpa kecuali. Ini menjadi bagian dari siyasah syar‘iyyah yang penting demi kemaslahatan umat.



Pemerintah Sekuler Ulil-Amri?

Dalam kasus ini, kita melihat pemerintah yang ada sebagai ulil amri (pihak yang diserahi urusan) bagi kaum Muslimin. Ketaatan pun harus diberikan kalau memang pemerintah dapat dianggap sebagai ulil amri sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat Al-Nisâ’ ayat 59:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً



Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Ada sebagian pihak yang menerima ayat ini sebagai sebuah keharusan, namun mempertanyakan apakah pemerintah yang ada sekarang adalah ulil amri minkum mengingat prinsip-prinsip yang dijankan dalam pemerintahan banyak yang mengabaikan syari’at. Bahkan tegas-tegas negara ini menyatakan diri sebagai negara non-agama. Dasar yang dipegangnya pun Pancasila, bukan Islam. Oleh sebab itu, negara dan para penyelenggara negara ini tidak termasuk dalam kategori minkum sehingga tidak perlu mendapatkan ketaatan dari kaum Muslimin.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, kita harus mendudukkan dulu makna “ulil amri” secara tepat. Uli adalah bentuk jamak dari kata waliy yang artinya “pemilik” atau “yang mengurus dan menguasai”. Sedangkan al-amr artinya “perintah” atau “urusan”. Bila dirangkai, secara bahasa, makna ulil amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus suatu urusan. Ketika dikaitkan dengan kata minkum yang artinya dari kalian, urusan yang diurus adalah urasan “kalian” (kaum Muslimin); dan yang mengurus adalah mereka yang “menjadi bagian dari kaum Muslimin”. Secara teknis, mereka “yang menjadi bagian” dari kaum Muslimin adalah siapa saja yang kaum Muslimin secara sukarela menyerahkan urusan mereka kepadanya.

Menurut Al-Sa‘di dalam Taisîr Karîm Al-Rahman fi Tafsîr Kalâm Al-Mannân dan juga diperkuat oleh Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya, “urusan” yang diserahkan oleh kaum Muslimin ini adalah urusan selain masalah-masalah akidah, ibadah, dan urusan-urusan keagamaan murni yang jelas rujukannya dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Kata al-amr dalam bentuk ma‘rifah (difinite; atau terbatas). Ini mengandung isyarat bahwa hanya urusan-urusan tertentu saja yang boleh diserahkan kepada ulil-amri, bukan semua urusan. Dalam hal ini, menurut para mufassir urusan yang boleh diserahkan adalah urusan-urusan kemasyarakatan yang ada kaitannya dengan kemaslahatan bersama.

Lantas, dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia saat ini, apakah pemerintah yang saat ini berkuasa layak disebut ulil-amri? Jawaban atas pertanyaan berpulang pada kita sebagai masyarakat Muslim. Apakah kita secara sadar turut meligitimasi kewenangan pemerintah untuk mengatur berbagai urusan kita, kaum Muslim? Kalau jawabannya “ya”, karena kita juga ikut pemilu, ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang mengabsahkan keberadaan pemerintah, maka sebenarnya kita telah menunjuk pemerintah yang ada ini sebagai ulil-amri kita. Saat kita telah ikut meligitimasinya, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus memberikan ketaatan pada mereka sebagai bagian dari ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kedua, kata ulil-amri disebutkan dalam bentuk jamak. Ini mengandung arti bahwa sangat dimungkinkan ada banyak pihak yang mengatur urusan kaum Muslimin, baik dalam bentuk kelembagaan maupunn individu. Al-Maraghi (Tasîr Al-Marâghi Jil.II hal. 72) menyebutkan bahwa ulil-amri itu bisa jadi pemerintah (umara’), hakim, ulama, panglima tentara, dan pemimpin dan jenis kepemimpinan lain yang ditunjuk oleh umat untuk mengurus urusan mereka demi mewujudkan kemaslahatan. Dengan demikian, jelas bahwa bukan hanya pemerintah (eksekutif dan perangkat pendukungnya) yang dapat dikategorikan sebagai ulil-amri. Siapapun yang kaum Muslim secara suka rela menyerahkan satu urusannya kepada mereka, wajib ditaati.

Sebagai contoh ulama. Di mana dan bagaimana ulama dapat menjadi ulil-amri bagi kaum Muslim, padahal tidak memiliki jabatan struktural tertentu dalam hirarki kepemimpinan kaum Muslimin? Ulama adalah orang yang memiliki kelebihan ilmu dibandingkan dengan kaum Muslim yang lain. Inilah poin yang membuat mereka layak disebut sebagai ulil-amri. Kaum Muslim banyak yang dalam berbagai hal tidak mengetahui ilmunya. Kalau tidak tahu ilmunya, tentu tidak bisa seenaknya kaum Muslim menentukan sendiri suatu hal. Kalau itu dilakukan, maka akan tersebar kesesatan dan kekacaun karena orang-orang jahil mengeluarkan fatwa atas sesuatu yang sama sekali tidak diketahuinya. Satu-satunya cara adalah menyerahkan urusan itu pada ahlinya, dalam hal ilmu adalah para ulama. Pada saat itu kaum Muslim telah “menyerahkan urusannya” kepada ulama. Itu berarti ulama telah ditunjuk sebagai “ulil-amri” kaum Muslim dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu. Dengan demikian kaum Muslim wajib taat dan mengikuti apa yang difatwakannya sebagai kosekwensi kerelaannya menyerahkan urusan pada ulama ini.

Para ulama ini ditaati dalam urusan yang kaum Muslim tentukan, yaitu dalam masalah ilmu. Dalam masalah lain yang kewenangannya tidak diserahkan kaum Muslim kpada mereka, tidak perlu ada ketaatan. Misalnya, kaum Muslim tidak memberikan ketaatan dalam urusan lalu-lintas kepada ulama. Sebab, yang diserahi mengatur urusan lalu lintas bukan ulama, melainkan polisi. Ketaatan harus diberikan kepada pihak yang diserahi amanat mengurus urusannya, dalam hal ini polisi dengan segala perangkat aturannya.

Contoh lain, dalam sistem kemasyarakatan kita, dikenal juga adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas), baik yang ada kaitannya dengan masalah-masalah keagamaan maupun yang lainnya. Dalam konteks keagamaan, ormas-ormas Islam hampir seluruhnya merupakan organisasi-organisasi dakwah. Yang dilakukan dan tercantum dalam konstitusi organisasi-organisasi tersebut adalah pekerjaan-pekerjaan dakwah. Misalnya Persis dan Muhammadiyah. Keduanya menyatakan diri sebagai organisasi massa Islam yang bergerak dalam bidang dakwah, menegakkan amar ma‘ruf dan nahyi munkar, terutama kepada orang-orang yang secara suka rela menjadi anggotanya.

Apakah ormas-ormas seperti ini juga merupakan ulil-amri bagi kaum Muslim? Bagi kaum Muslim, ada kewajiban dakwah yang sifatnya fardî (individual) yang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun berdasarkan perintah Allah Swt.,

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Nahl [16]:125)

Selain itu, ada juga kewajiban dakwah yang harus dilakukan secara kolektif (jama‘i) melibatkan individu yang lain sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali ‘Imrân [3]: 104).

Dakwah seperti ini mau tidak mau harus diserahkan kepada sekolompok orang yang lebih layak dan pantas untuk menjalankannya. Uamt Islam, seluruh atau sebagiannya, harus menyerahkan urusan pekerjaan ini kepada ahli di bidang ini. Di sinilah letak peran organisasi-organisasi dakwah Islam sebagai ulil-amri bagi kaum Muslimin. Hanya saja, karena umat yang menyerahkan amanah sebagian-sebagian, maka tanggung jawab ormas itupun terbatas kepada orang-orang yang menyerahkan amanah saja. Dalam hal ini anggota atau siapa saja (sekalipun bukan anggota) yang secara suka rela mau mengikuti organisasi dakwah tersebut.

Siapa saja yang telah mengikrarkan diri untuk menyerahkan amanah dakwah kepada suatu organisasi dakwah, maka pada saat yang sama ia berkewajiban taat dalam pengaturan dakwah yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Misalnya, dalam pengaturan dakwah di bidang penyelenggaraan pendidikan diatur berbagai hal agar jaringa dakwah pendidikan tertata rapi dan lebih maslahat bagi umat. Siapa saja anggota yang terkena oleh aturan-aturan ini wajib menaatinya sebagai bagian dari ketaatannya pada Allah Swt. Atau saat organisasi mengatur kualitas tabligh melalui perbagai program pembinaan muballigh, pengaturan kurikulum tabligh, pengaturan jadwal muballigh, dan semisalnya; itupun harus ditaati oleh semua anggota. Orang yang diserahi menjadi pengurus organisasi dakwah ini adalah ulil-amri bagi semua anggota dan simpatisan organisasi ini. Sebab, secara langusng maupun tidak mereka telah menyerahkan amanat pelaksanaan dakwah jama‘i kepada para pengurus organisasi itu.

Kalau pada kenyataannya ulil-amri ini bisa banyak, lantas bagaimana bila terjadi beda pendapat antar ulil-amri? Siapakah yang mesti dijadikan rujukan? Dalam hal ini, pertama, harus diberlakukan konsep yang hirarkis dalam memposisikan ulil-amri. Harus dilihat posisi-posisi ulil-amri ini secara hirarkis dalam sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Misalnya, kelompok umat Islam yang menerima untuk menyebut diri sebagai “ormas” adalah subsistem dari organisasi negara secara keseluruhan. Posisinya lebih rendah dari pemerintah. Sebab, pemerintahlah yang memiliki kewenangan mengatur keberadaan ormas-ormas ini melalui berbagai produk perundang-undangan. Dalam kasus yang hanya melibatkan kepentingan ormas itu sendiri atau orang-orang yang terlibat dalam ormas itu secara intern, posisi ormas yang merupakan ulil-amri bagi anggotanya dapat lebih didengar daripada yang lain. Namun, dalam hal yang menyangkut urusan yang lebih luas, yang melibatkan orang-orang di luar ormas itu, posisi organisasi negara (pemerintah) lebih berwenang, termasuk dalam masalah-masalah penentuan hari raya.

Kedua, prinsip “kemaslahatan publik” (al-maslahah al-‘âmmah) harus diperhatikan. Sistem hirarki yang ditetapkan di atas hanya berlaku di atas kaidah tasharruf al-râ’î alâ al-râ‘iyah manûth bi al-mashlahah(tindakan pemimpin terhadap rakyatnya dituntun oleh prinsip kemaslahatan umum). Artinya, pendapat yang harus paling didengar adalah yang paling maslahat untuk masyarakat. Sepanjang jelas maslahatnya bagi umat seperti dalam kasus hari raya, maka di situlah orang-orang yang berwenang (otoritatif) harus paling ditaati oleh umat.



Ketaatan Kritis pada Ulil-Amri

Ketaatan kepada ulil-amri adalah bagian dari ibadah. Perintahnya jelas dan tegas langusng dikatakan oleh Allah sendiri di dalam Al-Quran. Namun, ketaatan kepada ulil-amri ini tidak mutlak seperti ketaatan pada Allah dan Rasul-nya. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya tidak ada kekecualiaan. Apa saja yang datang dari Allah dan Rasul-Nya mutlak harus diikuti. Akan tetapi, taat kepada ulil-amri ada batasnya.

Batas ketaatan kepada ulil-amri ini dijelaskan oleh rasulullah Saw. dalam hadisnya sebagai berikut.

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِيْمَا اَحَبَّ وَ كَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلاَ سَمْعَ وَ لاَ طَاعَةَ

Bagi seorang Muslim diwajibkan mendengar dan taat (pada pemimpin), baik pada hal yang disenanginya ataupun tidak, kecuali ia diperintah untuk bermaksiat. Jika ia diperintah untuk bermaksiat, maka tidak mendengar dan taat. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

Jelas bahwa ketaatan kepada ulil-amri adalah sejauh para pemimpin itu tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah Swt. atau memerintahkan melakukan kemaksiatan. Ketaatan dalam kemaksiatan sama saja melanggar keharusan taat pada Allah Swt. yang sifatnya mutlak. Terhadap pemimpin yang bermaksiat atau memerintahkan kemaksiatan pada Allah Swt., kewajiban kaum Muslim adalah meluruskan dan memberikan nasihat pada mereka dengan cara yang ma‘ruf. Rasulullah Saw. bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: للهِ وَ لِكِتَابِهِ وَ لِرَسُوْلِهِ وَ ِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَ عَامَّتِهِمْ

Agama itu nasihat. Kami (para sahabat) bertanya, “Bagi siapa?” Rasul menjawab, “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum Muslim, dan seluruh kaum Muslim.” (HR Muslim dan lainnya dari Tamim Al-Dari).



Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pemerintah yang ada sekarang di Indonesia ini, karena secara de facto sebagian besar dari mereka adalah juga bagian dari umat Islam dan umat Islam secara suka rela telah mau berada di bawah pemerintahan mereka, maka pemerintah ini layak dianggap sebagai ulil-amri kaum Muslimin di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam kasus-kasus tertentu yang memang menjadi kewenangan pemerintah dan dapat lebih memberikan kemaslahatan umum, apa yang diputuskan oleh pemerintah selayaknya dipatuhi oleh semua umat Islam. Bahkan, posisi pemerintah ini dapat pula dijadikan rujukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa fikih-ijtihadi menyangkut urusan publik yang lebih luas yang tidak dicapai kata sepakat di antara kelompok-kelompok umat Islam. Keputusan yang diambil pemerintah ini layak pula untuk dijadikan rujukan dan ditaati oleh semua pihak.

Namun jelas ketaatan pada pemerintah ini bukan ketaatan membabi-buta tanpa kritik. Sikap kritis sebagai bagian yang inheren dari ajaran Rasulullah pada umatnya harus terus dipegang oleh publik (baca: umat Islam). Umat Islam harus tetap dapat melihat mana yang salah dan mana yang benar. Umat Islam harus tahu mana yang masih berada dalam rel ajara Islam dan mana yang sudah menyimpang. Urusan-urusan yang diputuskan pemerintah yang jelas-jelas menentang syari‘at dan melanggar akidah harus ditolak. Lebih jauh lagi, umat Islam harus mempu meluruskannya hingga kembali ke jalan yang benar. Di dinilah berlaku amar ma‘ruf dan nahyi munkar. Kalau prinsip-prinsip ini dipegang dalam kehidupan bermasyarakat kita, Insya Allah kehidupan umat akan lebih tertata rapi. Wallahu A‘lamu bi Al-Shawwab.

Penulis: Tiar Anwar Bachtiar
Ketua Umum PP Pemuda Persis
Sumber: persis.or.id
Posted by Hakimtea 0 comments

Tuesday, October 25, 2011

Selamat Datang di IAPPI

Assalamu'alaikum wr wb.,

Daramang IAPPI? Wilujeung sumping, wilujeung tepang ka sadaya IAPPI. Kami ucapkan selamat datang, welcome to all IAPPI.

www.iappi.net merupakan weblog untuk para IAPPI semua dimanapun berada, untuk bertukar informasi, bertukar pikiran, sharing idea, menyampaikan informasi pengumuman, apapun bisa dilakukan di web ini. Seperti mengundang atau mengumumkan sesuatu yang ada hubungannya dengan kegiatan IAPPI atau yang terjadi para perseorang IAPPI atau juga bisa menulis artikel yang bermanfaat di web ini dan lebih dari itu Anda akan mendapat fasilitas email khusus seperti NamaAnda@iappi.net.

Untuk dapat melakukan hal diatas tentu saja Anda harus bisa login ke web ini. Ditunjang dengan fasilitas blogger.com dari Google, hal itu semua dapat terwujud disini, Anda yang mempunyai minat di atas caranya gampang saja, syarat utama Anda harus punya alamat email di gmail.com, salah satu fasilitas layanan email gratis dari Google.com, silahkan daftar di https://accounts.google.com/NewAccount jika belum memiliki alamat email di gmail.com.

Namun jika Anda sudah memiliki email di gmail, Anda bisa langsung menghubungi administrator web ini dan selanjutnya Anda akan diundang menjadi kontributor/penulis di web kebanggaan kita ini.

Cara lebih lengkapnya akan dituntun via online oleh administrator iappi.net.

Sekian
Posted by Hakimtea 0 comments